Menerima perutusan sepulang dari eksposure di Sri Lanka, sebagai oblat saya diutus untuk terlibat di bidang perkebunan dan peternakan. Kiranya ini selaras dengan Konstitusi OMI no. 9.
"Karya keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan merupakan bagian integral dari pewartaan Injil….apapun karyanya, para Oblat bekerja sama sesuai dengan panggilan mereka dan dengan menggunakan semua sarana yang selaras dengan Injil, untuk mengubah segala hal yang menjadi sebab penindasan dan kemiskinan. Dengan demikian mereka turut membangun masyarakat yang berdasar pada martabat pribadi yang diciptakan sebagai citra Allah".
Konstitusi OMI no.9
Sebagai seorang Bruder Oblat, saya membawa keprihatinan terkait kehidupan para petani, peternak dan produsen hulu di hadapan Allah dalam meditasi saya. Betapa produk hulu dibeli dengan sangat murah, tidak sepadan dengan daya upaya para petani dan peternak. Bahkan hutang dengan bunga mencekik hanya demi membeli pupuk urea, pestisida dan bea akomodasi membelenggu petani/peternak. Sektor lapangan membuktikan bahwa rendahnya harga produk tidak hanya disebabkan kurangnya pengembangan SDM lokal akar rumput namun juga sistem pasar. Sebagai contoh: harga kangkung seikat Rp. 900, lele konsumsi 11.000/kg tentu membuat akar rumput tidak mampu berkutik terhadap mekanisme pasar yang dikuasai korporasi modal, berupa kartel dan pengusaha raksasa. Contoh lain yang membahayakan adalah penggunaan borax (pengawet jenazah) pada log jamur tiram, penggunaan phylox pada cabe rawit putih, dan penggunaan urea berlebihan pada komboran pakan ternak demi profit dan kapasitas produk akhir. Akibatnya ialah konsumen beresiko akumulasi gangguan kesehatan dan munculnya “produk gagal” pada filial/ keturunan komoditas. Mengalami ini, saya sebagai seorang Bruder Oblat misionaris tidak ingin mengubah sistem pasar yang demikian memanipulasi komoditas demi profit.
Bermeditasi mengenai karisma Oblat yakni Gereja dan Orang Miskin, Tuhan sedang mengajak saya untuk membangun beberapa persiapan mulai dengan sektor hulu, yakni lahan dan Asah-Asih-Asuh. Asah adalah usaha bagaimana ternak/kebun itu betul-betul sehat dan alami. Asih adalah belas kasih yang diwujudkan dalam penerapan perawatan ternak hingga manfaat kebaikan yang diterima konsumen. Asuh adalah bagaimana ternak/kebun yang diusahakan merawat kehidupan manusia di hadapan penciptaNya, Sang Pengasuh kehidupan.
Tiga bulan pertama adalah waktu yang saya gunakan untuk mengenal sifat lahan yang dipercayakan kepada saya, yakni lahan tidur SMA Yos Sokaraja dan Rumah Jamur Mandirancan Patikraja. Mengetahui sifat lahan adalah langkah awal yang penting. Ketika saya tahu bagaimana alam menerima saya, saya dapat memilih teknik dan cara beternak-berkebun alami sesuai dengan kearifan local. Komoditas yang dikembangkan adalah lele, nila, patin, mujair, ayam, mentog dan jamur. Saya mulai dengan persiapan indukan / filial nol (F-zero) untuk membangun bibit yang baik. Pada bulan IV dan V, bekerjasama dengan umat stasi dan peternak/pembudi-daya lokal, saya membangun instalasi-instalasi yang diperlukan seperti air, listrik, biogas dan peralatan teknologi pakan swadaya. Tujuannya agar kartel bibit dan pakan tidak menekan petani/peternak lewat
harga bahan pakan. Saya mengingat kembali pembelajaran boddhgaia di Srilanka, yang menekankan tinggal bersama kaum miskin sebagai langkah membangun lingkaran komunitas kontras berdasar Evangeli Gaudium, Laudato Si dan Fratelli Tutti. Bagian ini merupakan tahap di mana Oblat diinjili oleh orang miskin. Saya menemukan bahwa orang miskin adalah siapa saja yang tidak diinginkan, yang tidak mendapat kesempatan karena manipulasi pada system perikehidupan dan mereka yang belum memiliki pengetahuan yang membumi. Hasil dari bagian ini adalah economy sharing berupa sharing alat, bibit, bahan biogas dan bahan pupuk.
Bulan Januari 2021 adalah bulan keempat, yakni pengujian turunan komoditas di pasar. Hasil yang ditemukan umat stasi dan Oblat adalah sebuah tantangan bagaimana memperbanyak komoditi pada lahan yang sempit/kecil? bagaimana membangun sinergi pasar di kebun/peternakan kita masing-masing? Bagaimana membangun sikap dan langkah terhadap korporasi modal/kartel yang rentan sekali memanipulasi hukum alam dengan produk kimia yang justru merugikan bumi? Langkah yang sedang dikembangkan di Sokaraja ialah pembiasaan baru ternak dengan ecoenzym, pakan herbal pada lele sangkuriang, olah lanjut baik komoditas seperti tulang dan limbah. Contoh tersebut merupakan penemuan dari praktek di lapangan. Alhasil, orang dibawa pada sifat-sifat kehidupan yang bukan buatan manusia, seperti belaskasih, “nature” alam semesta dengan kebaikan-kebaikannya dan gerakan sunyi kembali kepada bumi pertiwi.
Tulisan ini saya akhiri dengan penemuan tentang makna rezeki. Rezeki adalah hukum Allah yang Maharahim dan Mahamurah bagi mereka yang berkenan kepadaNya. Rezeki itu ialah Bumi Imakulata, bumi yang suci tak bernoda. Bumi yang melahirkan penyelamat-penyelamat. Rintangan dan salib adalah hal biasa bagi pengikut Kristus, Sang Oblat Sejati. Tentu saja, rintangan dan salib harus dijalani dan diterima sampai pada rahmatNya sendiri yang datang Ketika bertahan dalam proses. Rahmat itu bonus dari Allah, rezeki pun demikian: kepercayaan jagad raya pada manusia, ilmu kebijaksanaan yang membumi, keluarga-keluarga baru dari alam semesta dan keselamatan. Bagi saya, rezeki bukanlah uang dan kepemilikan, tapi segala kebaikan bagi manusia seperti dalam Doa Syukur Agung III yang berbunyi,
"Sebab melalui Dialah, Engkau melimpahkan segala yang baik kepada dunia...."
Br. Tarchizius EDTWIN Sulispriyanto, OMI
Penulis