Awal Mula Dimulainya Rumah Formasi OMI di Indonesia
Di Keuskupan Agung Semarang OMI mengelola dua rumah formasi , yaitu: Seminari OMI “Wisma de Mazenod (Condong Catur), dan Novisiat OMI “Beato Joseph Gerard” (Sleman). Berikut informasi singkat perihal kedua rumah formasi tersebut.
Para Oblat Delegasi Australia yang berkarya di Pulau Jawa sejak tahun 1971 melihat adanya peluang dan minat dari para pemuda asli Indonesia untuk menjadi Misionaris OMI. Tidak menyia-nyiakan kesempatan dan atas restu dari Provinsial Australia, para Oblat Delegasi Australia di Pulau Jawa mulai mencoba mencari calon-calon Oblat asal Indonesia.
Pada tahun 1974, ada 2 pemuda yang bersimpati ingin menjadi OMI. Mereka adalah Thomas Sudiyono dan Cleophas Tintri Hadi Sumarto. Kedua pemuda ini mengenal OMI lewat Romo Patrick Moroney, OMI yang saat itu berkarya di Paroki St. Yosep, Purwokerto Timur. Mereka berdua kemudian belajar filsafat di Universitas Parahyangan dan tinggal di Seminari Tinggi Bandung sebelum masuk Novisiat.
Pada 15 Januari 1977 dibuka Novisiat OMI di Cilacap. Romo Petrus J. McLaughlin, OMI menjadi Magister Novis yang pertama, sedangkan Romo Carolus Burrows, OMI sebagai Socius. Dari 2 pemuda yang bersimpati dengan OMI, hanya 1 yang melanjutkan menjadi Novis yaitu Cleophas Tintri Hadi Sumarto. Novis pertama ini pun hanya bertahan 5 bulan karena keadaan tempat pendidikan yang tidak memungkinkan. Sejak pertengahan 1977 hingga 1980 vakum, tidak ada calon-calon Oblat asal Indonesia lagi.
I. SKOLASTIKAT OMI: “WISMA DE MAZENOD”
Pada tahun 1980, ada 8 pemuda Indonesia yang mencatatkan diri sebagai calon Oblat. Mereka tinggal dan belajar filsafat di Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta. Di antara 8 calon Oblat ini, 4 di antaranya dapat terus melaju hingga tahbisan imamat. Mereka adalah: Romo G. Basir Karimanto, OMI (Oblat Putera Indonesia Pertama yang ditahbiskan 27 Februari 1987), Romo F.X. Rumiyanto G.S. (ditahbiskan 02 Maret 1988, di kemudian hari mengundurkan diri), Romo F.X. Sudirman, OMI (ditahbiskan 22 Februari 1990), dan Romo Nicolas Setia Widjaja, OMI (ditahbiskan 11 Februari 1991).
Delapan calon Oblat tersebut tinggal dan belajar di Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta, dikarenakan para Oblat belum memiliki Rumah Formasi sendiri. Mereka belajar filsafat sebelum menjadi Novis. Setelah menyelesaikan studi filsafat di Institut Filsafat Teologi, Kentungan, Yogyakarta, Gregorius Basir Karimanto dan Yosef Nugroho menjalani masa Novisiat mereka di Filipina (Mei 1981–Mei 1982).
Pendidikan calon Oblat dalam komunitas Imam Praja kiranya tidaklah menguntungkan dikarenakan satu dan lain hal. Maka pada tahun 1981 dicapai kesepakatan untuk mendirikan sebuah rumah formasi bagi para calon Oblat di Indonesia dan dipilihlah kota Yogyakarta. Dengan bantuan umat, diperoleh tanah seluas 600 m2 di Desa Dero, Kelurahan Condong Catur. Pembangunan rumah pendidikan dimulai dengan peletakan batu pertama pada bulan Januari 1982. Dalam proses pembangunan tahap awal, diprioritaskan pada adanya bangunan pokok seperti kamar-kamar, dapur dan ruang cuci.
Pada Mei 1982 hingga 1983, calon Oblat Fransiskus Asisi Rumiyanto Goa Seputra dikirim ke Filipina untuk menjalani tahun novisiatnya. Sedangkan Estu Pratomo setelah menyelesaikan studi filsafatnya, kemudian menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Trinitas, Cengkareng.
Tanggal 29 Juli 1982 merupakan tonggak sejarah bagi Rumah Pendidikan OMI. Pada waktu itu terjadilah masa transisi bagi para calon Oblat Indonesia. 8 calon Oblat pindah dari Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta, begitu juga dengan 4 calon baru dari Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang. Romo Yohanes Kevin Casey, OMI berpindah karya dari Paroki St. Yosef, Purwokerto Timur, untuk selanjutnya menjadi Rektor Seminari Tinggi OMI yang pertama. Juga terjadi pengangkutan berbagai perlengkapan rumah formasi, seperti misalnya sepeda, dari Cilacap ke Yogyakarta.
Pada waktu itu kapel, ruang makan dan garasi sepeda belum selesai sehingga 2 kamar digunakan sebagai ruang makan dan kapel. Sepeda disimpan di dalam kamar masing-masing, bahkan selama beberapa hari mereka harus mandi di sungai di belakang rumah pendidikan yang baru ditempati itu. Setelah kapel selesai di bangun, ruangan kapel pun dipakai multiguna, yaitu juga sebagai perpustakaan dan ruang kelas untuk belajar.
Pada tahun 1983, beberapa unit bangunan penunjang lainnya telah selesai dikerjakan. Rumah Pendidikan OMI ini kemudian diberi nama ”Wisma de Mazenod” dan diberkati bertepatan dengan Pesta St. Laurentius Martir, 10 Agustus 1983, oleh Romo Austin Cooper, OMI, Provinsial OMI Australia saat itu.
Inilah para calon Oblat yang pertama kali menempati Wisma De Mazenod:
Seiring dengan perjalanan waktu, penghuni Wisma de Mazenod terus bertambah. Tercatat di bulan Juli 1983 terdapat 8 calon OMI yang bergabung, begitu juga di bulan Juli 1984 ada penambahan 9 calon OMI lagi dengan 2 di antara calon-calon tersebut merupakan calon dari para Oblat Delegasi Italia yang berkarya di Kalimantan Timur. Para calon ini masuk program Pra-Novisiat selama 1 tahun dengan dibimbing oleh Romo Peter K. Subagyo, OMI yang baru tiba dari Australia di bulan Juni 1983. Para calon ini juga mengikuti kuliah di Institut Filsafat Teologi, Kentungan, hanya sebagai pendengar dengan mengambil beberapa mata kuliah saja.
Melihat perkembangan jumlah calon Oblat yang cukup baik, maka sejumlah penambahan fasilitas penunjang pendidikan diadakan. Pada akhir tahun 1984, dibangun gedung pastoran sehingga Wisma de Mazenod membentuk komunitas sendiri yang disebut ”Komunitas Rumah Formasi”.
Romo Yohanes Casey, OMI yang menjadi Rektor pertama di Wisma de Mazenod kembali berkarya di Paroki Cilacap setelah 2 tahun bertugas di Yogyakarta. Pada Juli 1984, Romo Petrus J. McLaughlin, OMI menjadi Rektor kedua. Romo Paul Gwynne, OMI datang dari Australia dan masuk dalam Tim Formator Wisma de Mazenod, 1984-1986.
Setelah bangunan untuk Seminari Tinggi OMI mulai dipergunakan, maka di tahun 1985 didirikan di kompleks tersebut bangunan yang terletak di bagian sisi kiri sebelah utara Skolastikat OMI yang sekarang dikenal dengan sebutan Unit C untuk dijadikan Novisiat OMI.
Romo John O’Doherty, OMI yang sudah berpengalaman selama 9 tahun menjadi Magister Novis di Australia mempersiapkan Novisiat OMI di Indonesia. Pada 15 Juli 1985, Komunitas Novisiat OMI yang bernaung di bawah perlindungan Beato Joseph Gerard mulai beroperasi dengan 12 Novis.
Karena kesehatan yang tak mengizinkan, Romo Paul Costello, OMI, salah seorang Tim Formator OMI yang bergabung pada tahun 1985, terpaksa harus kembali ke Australia. Beliau digantikan oleh Romo John O’Regan, OMI yang tiba di bulan Maret 1987.
Pada tahun 1988, datang Romo Jean Subra, OMI, salah seorang Oblat Delegasi Sintang yang berkarya di Kalimantan Barat. Hingga tahun 1992 Romo Subra menjadi Asisten Magister Novis. Kemudian Romo G. Basir Karimanto, OMI yang telah dipersiapkan untuk memperkuat Tim Formator OMI dengan mengikuti Kursus Pembinaan di Filipina menyusul masuk ke dalam jajaran Tim Formator OMI.
II. NOVISIAT BEATO YOSEPH GERARD (sejak 1990)
Pada tahun-tahun berikutnya direncanakan untuk memindahkan Komunitas Novisiat OMI di suatu tempat tersendiri, terpisah dari Komunitas Seminari Tinggi OMI “Wisma de Mazenod”. Maka sejak tahun 1990 mulailah dirintis pembangunan gedung baru untuk Novisiat OMI di daerah Dusun Blotan, Ngemplak, Wedomartani, Sleman, Yogyakarta – sekitar 2 km di sebelah utara dari Seminari Tinggi OMI “Wisma de Mazenod”.
Pada tanggal 25 Juli 1990, terjadi sejarah baru Komunitas Formasi OMI di Indonesia, yaitu dengan berpindahnya Novisiat dari kompleks Seminari Tinggi OMI untuk menempati bangunan khusus yang baru di Blotan. Pemberkatan Novisiat yang diberi nama Novisiat “Beato Joseph Gerard” ini dilakukan pada 06 September 1990 oleh para Superior Delegasi OMI yang ada di Indonesia saat itu, yaitu Delegasi Australia yang berkarya di Pulau Jawa, Delegasi Perancis yang berkarya di Kalimantan Barat, dan Delegasi Italia yang berkarya di Kalimantan Timur. Sejak saat itu, keberadaan OMI di bumi Indonesia dapat dikatakan lengkap; proses pendidikan dilaksanakan sendiri dengan fasilitas baik infrastruktur maupun personel yang memadai.
A. GAMBARAN UMUM PROGRAM FORMASI DI NOVISIAT OMI “BEATO JOSEPH GERARD”
“Novisiat merupakan masa kandidat dibimbing ke dalam hidup religius sebagai Oblat, diarahkan menuju pembuktian diri secara umum di dalam Lembaga Hidup Bakti. Provinsial menerima pada kandidat masuk ke novisiat. Di bawah bimbingan Magister Novis, para novis berusaha memahami makna hidup yang dikuduskan. Dengan demikian mereka dapat melihat dengan lebih jelas panggilan Tuhan dan, dalam doa, mempersiapkan diri untuk menjawab panggilan itu.” (Konsitusi OMI No. 55)
Biasanya, para pemuda yang tertarik untuk menjadi calon Oblat akan memperdalam pengenalannya dengan berkontak langsung pada Promotor Panggilan OMI baik lewat telepon, email, SMS, atau berjumpa. Ada juga program “Come and See” yang diselenggarakan di Seminari Tinggi OMI, Condongcatur, Yogyakarta di setiap akhir tahun yang bertujuan memperkenalkan OMI dan karya misionarisnya. Masa perkenalan ini dilanjutkan dengan seleksi calon atau solisitasi yang meliputi: tes kepribadian dan kemampuan belajar, check-up kesehatan, serta wawancara dengan para Oblat dan pasangan suami istri terpilih. Kemudian calon yang terima akan dipanggil oleh Romo Provinsial untuk menjalani tahap berikutnya, yakni Novisiat I yang bertempat di Novisiat Beato Joseph Gerard di Blotan, Yogyakarta.
B. GAMBARAN UMUM PROGRAM FORMASI DI SEMINARI TINGGI OMI “WISMA DE MAZENOD”
“Tahun-tahun skolastikat bertujuan memberi Oblat yang ingin menjadi imam pendidikan intelektual dan persiapan umum yang diperlukan. Studi-studi mereka didasarkan pada pendidikan yang kokoh dalam bidang filsafat dan teologi. Para skolastik akan mengembangkan keahlian-keahlian mereka untuk mewartakan Sabda Allah secara efektif. Di mana pun para skolastik itu menjalankan studinya, sangatlah penting bahwa mereka hidup dalam komunitas Oblat dan mengembangkan semangat misioner. Mereka hendaknya juga dibimbing untuk menghargai kurnia imamat, karena melalui imamatlah mereka mengambil bagian secara istimewa dalam pelayanan Kristus sendiri sebagai imam, gembala, dan nabi.” (Konstitusi OMI # 66)
Setelah melewati tahap Perkenalan Awal, Novisiat I dan Novisiat II, seorang calon OMI yang disebut “Frater” akan melanjutkan pendidikan dan proses pembentukannya di dalam Skolastikat dengan tinggal di Seminari Tinggi OMI “Wisma de Mazenod”, Condong Catur, Yogyakarta. Para Frater akan kuliah di Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma.
Ada 3 tahap formasi di Skolastikat yang dijalankan untuk mencapai tujuan sesuai yang diharapkan dalam Konstitusi OMI No. 66 yang disebutkan di atas:
Selesailah masa pendidikan pertama. Kemudian, Oblat muda ini akan mulai berkarya sebagai Imam. Ia akan tetap belajar dan terus belajar untuk pertumbuhan pribadi dan rohaninya. Proses pendidikan seumur hidup ini biasanya disebut “on going formation programme” program formasi berkelanjutan yang akan terus berlangsung dan tak akan pernah berhenti sampai yang bersangkutan dipanggil ke surga untuk berjumpa dengan Bunda Maria dan hidup bersatu dengan Bapa, Putra, dan Roh Kudus untuk selama-lamanya.
Di samping studi akademik, beberapa aktivitas/program/acara yang biasa dijalankan di Wisma de Mazenod diharapkan dapat memproses para formandi dalam membangun hidupnya sebagai seorang religius OMI:
Ada pula beberapa kegiatan yang merupakan perintisan baru tetapi sekarang sudah berjalan rutin dengan baik sekali:
Target dari Rumah Formasi tertuang secara menyeluruh dalam Visi dan Misi Rumah Formasi, seperti yang tercantum di atas dalam rupa ”pernyataan Komunitas Wisma de Mazenod”. Semua yang tertulis dalam Visi-Misi tersebut memang diterapkan dalam proses formasi. Untuk mempermudah menggapai terpenuhinya Visi-Misi tersebut, maka di setiap tahun dibuatkan arah formasi yang kontekstual dan terfokus. Arah itu diwujudkan dalam kata pengantar yang selalu dibuat oleh staf formasi dan disosialisasikan kepada formandi pada awal tahun ajaran baru. Beberapa contoh fokus formasi dalam 4 tahun terakhir ini adalah sebagai berikut:
Dengan upaya penentuan arah setiap tahunnya ini, diharapkan formasi dapat berjalan dengan efektif, terarah, dan terencana. Arah formasi ini ditegaskan dalam evaluasi komunitas, konferensi, rekoleksi, dan juga secara informal melalui renungan liturgis. Sejumlah program dibuat untuk mendukung tercapainya arah formasi tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir ini Tim Formasi baik di Novisiat maupun di Skolastikat selalu berjumlah dua-dua: dua orang di Novisiat dan dua orang di Skolastikat. Pada awal tahun 2011 terjadi perubahan setelah Romo John O’Doherty. OMI kembali ke Australia. Pernah terjadi seorang Diakon (Diakon Antonius Sussanto, OMI) tinggal di Novisiat untuk menyelesaikan studi S2 sambil mengisi masa diakonat di paroki setempat. Selain itu, Imam student (Rm. Aloysius Wahyu Nugroho, OMI) menyelesaikan studi S2 Teologi dan tinggal di Skolastikat.
Kebutuhan untuk menyiapkan formator lapis dua tetaplah penting dan sangat mendesak. Provinsi memiliki kewajiban untuk menyiapkan calon formator untuk waktu-waktu mendatang. Penting juga diberlakukan secara disiplin masa pelayanan di formasi sesuai dengan Surat Keputusan sehingga seorang formator dapat melayani secara lebih efektif, terencana, dan gembira.
Pribadi para formator juga perlu menjadi pertimbangan tersendiri. Formator yang ditugaskan bukan hanya ditunjuk, tetapi juga dipersiapkan karena hanya dengan persiapan yang cukup maka seorang formator dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Pemilihan pribadi ”formator yang tepat pada tempat yang tepat” pula akan sangat menentukan dalam pelayanan di formasi sehingga dapat menghasilkan buah yang maksimal. Kata orang: “Sebelum memformat orang, dirinya harus diformat lebih dulu!”. Formasi adalah bagian yang sangat penting dari Provinsi, karena formasi menjadi penentu kualitas para Oblat masa mendatang. Masa depan yang baik bermula dari persiapan masa sekarang yang baik pula.