Perpetual Vows Fr. Paiman OMI
Ada seorang anak kecil yang tinggal di suatu desa. Anak itu berumur empat tahun. Ia memiliki empat kakak. Ayahnya adalah seorang petani yang kadang-kadang menjadi nelayan. Ayahnya memiliki dua pekerjaan karena kondisi alam di mana mereka tinggal. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang menjaga dan mengatur agar keluarga tetap bisa makan sehari-hari.
Pada suatu hari anak kecil ini ikut dengan teman-temannya untuk mencari totok. Totok adalah hewan sejenis kerang. Bagi orang Kalimantan Utara hewan ini sering juga disebut tudai, atau kerrang darah. Ia pergi dengan senang hati karena bermain-main di air adalah hiburan yang menyenangkan hatinya. Namun, apa yang awalnya menjadi hari yang menyenangkan berubah menjadi pengalaman menegangkan yang tak akan ia lupakan.
Ketika mereka tiba di tepi sungai, teman-temannya segera sibuk mencari totok di antara lumpur dan pasir di dasar sungai dangkal. Sang anak kecil, dengan riang gembira, bermain-main di air yang hanya setinggi lututnya. Gelak tawanya terdengar merdu di antara gemericik air. Ia sesekali mencoba menirukan teman lainnya, menggali lumpur dengan tangan mungilnya, meskipun ia lebih sering hanya memercikkan air ke segala arah.
Namun, karena terlalu asyik bermain, anak itu tak menyadari bahwa ia perlahan menjauh dari yang lainnya. Langkah-langkah kecilnya membawanya ke bagian sungai yang lebih dalam. Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya amblas, dan ia terperosok ke dalam air. Anak itu tak tahu berenang. Tubuh kecilnya tenggelam, terombang-ambing di bawah permukaan.
Tak jauh dari sana, teman-temannya mendengar suara percikan air yang tidak biasa. Mereka langsung menoleh dan menyadari bahwa si anak kecil itu tak lagi berada di tempat tadi. Dengan panik, ia berlari ke arah asal suara dan melihat gelembung-gelembung air di permukaan sungai. Tanpa berpikir panjang, salah satu temannya melompat ke dalam sungai, menyelam dan menggapai tubuh kecil anaknya yang kini hampir tak bergerak itu.
Ini adalah penggalan pengalaman Frater F.X. Paiman OMI yang menjadi pengalaman dasar akan Tuhan. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah menyelamatkannya. Pengalaman dekat maut itu telah menjadi pengalaman penuh makna. Dahulu ia tenggelam di sungai, kini ia merasa tenggelam dalam lautan cinta Tuhan. Ia merasa bahwa pengalaman selamat itu merupakan panggilan untuk membagikan kasih Tuhan. Panggilan ini yang memperkuat keputusannya secara bebas untuk mengikrarkan kaul kekal dalam kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI).
Pada tanggal 4 Desember 2024 lalu ia mengikrarkan kaul kekalnya sebagai Oblat. Ia menceritakan cerita tersebut dalam upacara sakral itu. Pada perayaan penuh Syukur itu turut datang keluarga besar Fr. Paiman dari sub-stasi Ujungmanik, Paroki Cilacap. Pada perayaan syukur itu juga hadir sebelas oblat lainnya untuk mendukung dalam suasanan persaudaraan. Kehadiran Fr. Paiman dalam kongregasi OMI memperkuat barisan pelayanan kepada orang miskin.
Frater Paiman sempat bercerita kepada hadirin yang datang bahwa cukup sulit untuk memperoleh izin sebagai anak bungsu untuk masuk seminari. Namun pelan-pelan sang ibu melihat bukti konkret dari perjalanan pendidikan Fr Paiman. Ia mulai merantau setelah lulus SMP. Ia melanjutkan pendidikan di Seminari Menengah Stella Maris Bogor. Setelah empat tahun Frater Pai (panggilan akrab) melamar untuk bergabung dengan OMI. Ia menjalani masa pranovisiatnya selama setahun 2016-2017. Kemudian ia melanjutkan masa novisiat selama setahun dan mengikrarkan kaul pertama pada tahun 2018. Ia menyelesaikan pendidikan S1 Filsafat dan Teologi pada tahun 2022.
Perjalanan pendidikan Frater Paiman yang cukup panjang itu tidaklah mudah. Ia mengucapkan bahwa ada banyak orang yang telah membantu dan mendukung. Dorongan keluarga dan pengalaman diselamatkan Tuhan menjadi salah satu kekuatan Frater Paiman tetap teguh dalam panggilan suci ini. Sekarang ia memasuki babak baru dalam formasi hidupnya. Semoga Frater Paiman selalu semangat dalam membagikan rahmat keselamatan dalam panggilannya.
Penulis: Fr. Thomas Brian Wicart, OMI