“Epidemics, Networks and Conversions”,
Telaah Buku Rodney Stark, The Rise of Christianity.
Oleh :
Fr. Arnoldus Evan Pabubung, OMI
Fr. Suni Bonikus Bunghari, OMI
Fr. Fx.Togar Mulya Nainggolan, OMI
Artikel ini bertitik tolak dari sebuah buku karangan Rodney Stark (1996) yang menceritakan proses agama Kristiani menjadi agama besar dan berpengaruh di Eropa. Salah satu unsur penting dalam proses tersebut adalah cara Kristianitas menghadapi wabah smallpox di tahun 165 yang juga menewaskan kaisar Marcus Aurelius, Kaisar Romawi. Solidaritas orang Kristiani
terhadap orang-orang yang jadi korban, yang berakar dalam teologi Kristiani mengenai Allah dan kasih pada sesama, ternyata menjadi penentu bagi perkembangan kristianitas awal. Secara khusus, Rodney Stark melihat bagaimana Kekristenan berbeda dengan kaum pagan (penyembah dewa-dewi) dalam menghadapi wabah smallpox. Krisis oleh karena wabah ini menimbulkan kekacauan secara sosial dan berujung pada “krisis iman”. Agama Kristen hadir dan menawarkan “jawaban” serta penghiburan yang lebih menarik untuk menghadapi wabah tersebut.
Bagi para pagan masa itu, mereka tidak akan tahu mengapa dewa mereka memberi kesengsaraan. Kaum pagan gagal dalam memaknai hidup karena mereka tidak sampai pada pemahaman bahwa hal-hal yang terjadi di hidup mereka itu terjadi secara alamiah dan “di luar” kendali manusia. Sebaliknya, kaum Kristiani memiliki jawabannya. Melalui ajaran iman, kehidupan manusia dinilai lebih bermakna bahkan ketika mengalami kematian yang mendadak. Keberadaan tentang nilai-nilai surgawi hadir sebagai penghiburan di kala menghadapi keterpurukan, sehingga manusia siap menghadapi apa yang akan terjadi.
Kekristenan dipandang sangat “pas” di saat sedang mengalami masa-masa sulit sekalipun oleh karena nilai-nilai yang dibawanya. Hal demikian tidak ada dalam “kamus iman” kaum pagan. Penghayatan tentang masa depan yaitu surga semakin jelas ketika orang Kristen tidak lari dari wabah tetapi justru membantu mereka yang terkena wabah. Tanpa menghiraukan bahaya, mereka merawat, memenuhi kebutuhan (makan dan minum) mereka, dan melayani dalam nama Kristus. Ketika mereka terkena penyakit karena terinfeksi wabah, mereka tetap menerima dengan sukacita rasa sakit itu. Berbeda halnya dengan kaum pagan yang justru menjauhi para korban wabah bahkan melemparkan mereka yang terpapar wabah ke jalanan.
Sejarah Kristianitas
Berkaca dari kisah nyata kekristenan dalam menghadapi wabah, relasi Allah-manusia dan relasi manusia-manusia menjadi hal menarik dalam melihat semangat solidaritas Kristiani. Bagi kaum pagan, mencintai Tuhan adalah sesuatu yang asing. Dewa-dewa (dalam paham Aristoteles) tidak dapat merasakan cinta dari manusia. Hubungannya dengan sesama manusia hanya dibatasi dengan persembahan. Hal ini sangat kontras dengan apa yang dihayati dan dilakukan oleh orang Kristen. Orang-orang Kristen menghayati nilai-nilai cinta dari Allah yang menunjukkannya melalui penderitaan. Oleh karena itu, manusia juga harus menunjukkan hal yang sama melalui pengorbanan kepada manusia lain. Semangat menjunjung kemanusiaan tanpa pilih-pilih sangat menonjol dalam kehidupan orang Kristen. Bibit-bibit persaudaraan sungguh ditekankan sebagai bentuk cinta kasih orang Kristen. Seruan-seruan “aku adalah penjaga saudaraku”, “lakukanlah kepada mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan darimu” dan “memberi lebih baik dari pada menerima” terus bergaung di sekitar orang Kristen. Jika orang Kristen sungguh mencintai Allah, mereka harus mencintai sesama. Hal ini disebut sebagai pemikiran yang revolusioner oleh kaum pagan pada waktu itu.
Eksistensi Kekristenan
Rodney Stark juga menjelaskan proses berkembangnya Kekristenan berhubungan dengan terjadinya
malapetaka epidemi. Para pengikut Kristus yang semula jumlahnya jauh lebih sedikit dari kaum pagan melesat naik. Jaringan sosial yang terjadi selama orang Kristen merawat orang lain (kaum pagan) atau bahkan (jika diasumsikan) hanya merawat orang Kristen berpengaruh sekaligus menjawab pertanyaan mengapa agama Kristen mampu mendominasi dunia Barat. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut menjadi faktor utama hilangnya kaum pagan. Ikatan hubungan yang terjadi antara orang Kristen dengan kaum pagan setelah dua kali melawan badai pandemi berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengikut Kristus secara sangat drastis. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh orangorang Kristen secara khas sangat berpengaruh terhadap angka keselamatan korban epidemi yang ada. Relasi yang terjalin antara orang Kristen dan pagan semakin bertumbuh dan mungkin membentuk ikatan baru (yang disebut dalam buku ini sebagai perkawinan). Kaum pagan yang selamat dari wabah akan memilih untuk menjadi pengikut Kristus. Mereka akan lepas dari ikatan (sebagai kaum pagan) yang menahan mereka untuk menjadi orang Kristen.
Pembawa Harapan :
Sebuah Refleksi Bagi Gereja
Ada benang merah yang dapat dipelajari dari tesis Rodney Stark mengenai adanya kaitan erat antara pandemi dengan tiga keutamaan teologal Kristiani: iman, harapan, dan kasih. Gereja sebagai Tubuh Kristus tidak dapat dipisahkan dari penderitaan, demikian pula dalam pandemi yang terjadi dalam sejarah dan juga situasi saat ini, covid-19. Lewat sejarah, kita diyakinkan bahwa iman akan Kristus membawa pengharapan di tengahtengah situasi yang sulit. Sebab dalam keadaan “terjepit”, bela rasa tumbuh dan kesaksian tersebut menjadi wujud nyata cinta kasih yang menguatkan dalam menghadapi wabah. Khotbah Siprianus dalam sejarah peradaban Romawi juga memberi tahu orang-orang Kristen untuk tidak berduka bagi para korban wabah (yang telah tinggal di surga), tetapi untuk melipatgandakan upaya dalam merawat yang masih hidup. Rekan uskupnya Dionysius juga menggambarkan bagaimana orang-orang Kristen, “tanpa mempedulikan bahaya mengambil alih perawatan orang sakit dan memenuhi setiap kebutuhan mereka.” Gambaran ini memberikan wawasan sekaligus refleksi bahwa sepanjang sejarah wabah, umat Kristiani menunjukkan pengorbanan dan pengabdian kepada sesama, sekalipun di luar komunitas Krsten. Itu merupakan tanda harapan akan Kristus yang pasti memberikan waktu yang terbaik bagi umat-Nya. Oleh karena itu, di tengah masa-masa pandemi ataupun peralihan saat ini, Gereja dituntut untuk senantiasa memberikan kesaksian. Aspek kepedulian, pengorbanan, dan semangat belas kasih kini berperan sangat penting pada masa-masa sekarang ini. Kita dipanggil selalu dan senantiasa untuk menyebarkan tindakan kasih Allah secara konkret. Maka, mari kita wujudkan semangat ini mulai dari dalam diri sendiri, keluarga, sahabat, lingkungan sekitar, sampai pada tataran yang lebih luas lagi bagi negara dan bangsa kita. Semoga rahmat Tuhan memampukan kita untuk menjadi penyebar kasih-Nya dan memberikan harapan lewat kata dan perbuatan ditengah dunia ini.
Sumber :
Stark, Rodney. 1996. “The Rise Of Christianity : How The Obscure, Marginal esus Movement Became The Dominant Religious Force In The Western World In A Few Centuries”. 1st Harper Collins: USA.