oleh: Andreas Alki Paretta
Allah yang transenden senantiasa mengasihi umat-Nya dan hadir dalam kehidupan manusia, meskipun kehadiran-Nya tidak selalu terlihat dan dipahami dengan akal manusia. Namun, dalam keterbatasan manusia, Allah dapat dipahami melalui pewahyuan yang diberikan-Nya. Pewahyuan adalah cara Allah berbicara kepada manusia dan memberikan penjelasan tentang kehendak-Nya. Melalui pewahyuan, manusia dapat memahami lebih dalam tentang Allah yang transenden dan merasakan kehadiran-Nya dalam hidup mereka.
Secara umum, pewahyuan berasal dari kata wahyu dan dalam bahasa Inggris ialah revelation serta dalam bahasa Latin ialah revelare yang berarti menyingkapkan selubung.[1] Dari asal kata tersebut dapat dikatakan bahwa arti wahyu adalah suatu bentuk komunikasi atau penyingkapan dari Tuhan kepada manusia.
Pewahyuan adalah cara Allah memberikan penjelasan tentang kehendak-Nya kepada manusia. Namun, dalam praktiknya, pewahyuan juga melibatkan peran manusia dalam memahami dan menyampaikan pesan Allah kepada orang lain.[2]
Dalam pandangan Katolik, pewahyuan dianggap sebagai salah satu cara Allah untuk berkomunikasi dengan umat-Nya. Pewahyuan mengandung pesan-pesan penting tentang kehendak dan rencana Allah, serta memperkenalkan karakteristik dan sifat-sifat-Nya kepada manusia. Namun, pewahyuan juga dapat membantu manusia memperdalam hubungan mereka dengan Allah dan memperkaya kehidupan spiritual mereka.[3]
Sebagai bagian dari iman Katolik, pewahyuan diterima sebagai suatu wahyu yang berasal dari Allah dan tidak dapat diubah atau ditambah oleh manusia.[4] Oleh karena itu, penting bagi umat Katolik untuk memahami dan menghormati pewahyuan tersebut, serta mengevaluasi tindakan dan pengambilan keputusan mereka berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip pewahyuan tersebut.
Dalam praktiknya, pewahyuan sering kali diterima melalui Kitab Suci, khususnya Alkitab, yang dianggap sebagai kumpulan tulisan-tulisan suci yang mewakili pewahyuan Allah kepada manusia. Selain itu, pewahyuan juga dapat diterima melalui ajaran Gereja, pengalaman spiritual, doa, dan bimbingan rohani.
Menurut St. Agustinus, pewahyuan adalah suatu karunia dari Allah yang diberikan secara cuma-cuma, tanpa bisa diminta atau dipaksakan melalui berbagai cara, seperti mimpi, visi, suara, dan tanda-tanda lainnya.[5]
Dalam iman Katolik, ada beberapa tolak ukur atau kriteria yang digunakan untuk menentukan keaslian sebuah pewahyuan. Berikut adalah beberapa di antaranya:
Dengan mengikuti tolak ukur ini, Gereja Katolik dapat memastikan bahwa pewahyuan yang diterima adalah kebenaran yang datang dari Allah dan berguna bagi umat manusia.
Dalam pandangan iman Katolik, meskipun manusia memiliki keterbatasan dalam memahami Allah yang tak terbatas, namun pewahyuan diberikan oleh Allah untuk membantu manusia memahami kehendak-Nya. Dalam pewahyuan, Allah memberikan gambaran tentang sifat dan kehendak-Nya, serta memberikan petunjuk tentang cara hidup yang baik dan benar di hadapan-Nya.[7]
Selain itu, dalam memahami pewahyuan, manusia juga dibantu oleh Roh Kudus yang memberikan pengertian yang lebih dalam mengenai makna pewahyuan tersebut. Roh Kudus juga membantu manusia dalam menafsirkan dan mengaplikasikan pewahyuan dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dari pemahaman manusia yang terbatas melalui pewahyuan tentang Allah yang tak terbatas adalah konsep Tritunggal dalam ajaran Katolik. Konsep Tritunggal mengajarkan bahwa Allah adalah satu, namun ada tiga pribadi yang sama-sama Allah, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsep ini tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh akal manusia, namun diwahyukan oleh Allah melalui pewahyuan. Sebagai manusia yang terbatas, kita dapat memahami konsep Tritunggal sebatas yang diwahyukan oleh Allah melalui pewahyuan, namun tidak dapat memahami secara penuh misteri tentang konsep tersebut yang melebihi batas pemahaman manusia.
Pemahaman mengenai misteri pewahyuan Allah mengarahkan kita untuk memahami bahwa Allah hadir dalam kehidupan manusia melalui pewahyuan yang diberikan-Nya. Pewahyuan adalah cara Allah berbicara kepada manusia dan memberikan penjelasan tentang kehendak-Nya. Dalam pewahyuan, manusia dapat memahami lebih dalam tentang Allah yang transenden dan merasakan kehadiran-Nya dalam hidup mereka “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” (Rm 1:19-20), terlihat bahwa Allah memberikan pewahyuan-Nya melalui ciptaan-Nya, sehingga manusia dapat memahami sifat-sifat-Nya yang tak terlihat melalui akal budi. Ayat ini menegaskan bahwa apa yang dapat diketahui tentang Allah sudah nyata bagi mereka, karena Allah telah menyatakannya kepada mereka melalui penciptaan dunia. Dari apa yang telah diciptakan-Nya, sifat-sifat Allah yang tak terlihat, yaitu kekuasaan-Nya yang kekal dan ketuhanan-Nya, sudah dapat dilihat dengan jelas dan dipahami oleh akal budi manusia.
Sebagai umat Katolik, kita mengakui bahwa pewahyuan adalah karunia Allah yang diberikan secara cuma-cuma dan tidak dapat diminta atau dipaksakan melalui berbagai cara. Oleh karena itu, kita harus memahami dan menghormati pewahyuan tersebut, serta mengevaluasi tindakan dan pengambilan keputusan kita berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip pewahyuan tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Katekismus Gereja Katolik, "Pewahyuan adalah suatu karunia dari Allah yang diberikan secara cuma-cuma. Karenanya, seorang Kristen harus selalu membuka dirinya terhadap pewahyuan yang diberikan Allah, dan menilai segala tindakan dan pengambilan keputusan berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip pewahyuan tersebut".[8] Oleh karena itu, sangat penting bagi umat Katolik untuk selalu berusaha memahami dan menghormati pewahyuan yang diterima dan menggunakannya sebagai pedoman dalam hidup mereka.
Dengan mengikuti tolak ukur pewahyuan berdasarkan iman Katolik, Gereja dapat memastikan bahwa pewahyuan yang diterima adalah kebenaran yang datang dari Allah dan berguna bagi umat manusia. Kita harus mengikuti tolak ukur tersebut untuk memastikan bahwa pewahyuan yang diterima adalah kebenaran yang datang dari Allah dan membantu kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Misteri Allah yang transenden dan tak terbatas seringkali sulit dipahami oleh manusia, namun pewahyuan diberikan oleh Allah untuk membantu kita memahami kehendak-Nya. Kita harus terus belajar dan memperdalam pemahaman kita tentang pewahyuan dan tentang Allah sendiri. Melalui pemahaman dan pengalaman kita dengan pewahyuan, kita dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidup kita dan memperkaya kehidupan spiritual kita.
Kelebihan dari konsep misteri Allah dalam pewahyuan adalah bahwa manusia diajak berpikir lebih dalam tentang Tuhan sebab konsep misteri Allah menunjukkan bahwa ada yang lebih dari apa yang dapat dipahami oleh manusia, sehingga orang merasa tertantang untuk terus mencari pemahaman akan imannya. Selain itu, Konsep misteri Allah membantu orang untuk mengembangkan hubungan spiritual yang lebih dalam dengan Tuhan. Karena Allah dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa, tak terbatas dan tak terjangkau oleh pemahaman manusia, maka hal itu memberikan suatu keterikatan yang kuat dengan Tuhan.
Kekurangan dalam konsep tersebut yaitu jika mengikuti tolak ukur Pewahyuan dalam gereja Katolik memang bagus dan bisa menjaga kesesuaian iman Katolik itu sendiri. Tetapi bagaimana dengan mereka yang mendapat Pewahyuan pribadi dan berbeda dari tolak ukur tersebut, apakah dianggap sesat dan tidak diwadahi? Apalagi tolak ukur tersebut dibuat oleh manusia yang juga terbatas. Selain itu, berkaitan dengan kualitas orang yang menerima Wahyu: bagaimana jika Wahyu yang mereka terima sesuai dengan tolak ukur iman Katolik tetapi kualitas hidup mereka jauh dari kata dekat dgn Allah. Bagaimana bisa kualitas hidup mereka bisa menjadi pertimbangan Pewahyuan?
[1] D, Nico Syukur, Pengantar Teologi. (Yogyakarta, Kanisius: 1991), 86
[2] E. Martasudjita, Pokok-Pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat. (Yogyakarta, Kanisius: 2013), 19
[3] Katekismus Gereja Katolik, no 52
[4] E. Martasudjita, Pokok-Pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat. (Yogyakarta, Kanisius: 2013), 20
[5] Frederick, Filsafat Santo Agustinus. (Yogyakarta, Basabasi: 2021), 99
[6] D, Nico Syukur OFM, Pengantar Teologi (Yogyakarta, Kanisius: 1991), 116-120
[7] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta, Kanisius: 1996) 133
[8] Katekismus Gereja Katolik, no 768
E. Martasudjita, Pokok-Pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat. Yogyakarta: Kanisius, 2013
Katekismus Gereja Katolik
KWI, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Alkitab deuterokanonika, Jakarta: LAI, 2011
D, Nico Syukur OFM, Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991
C. Federick, Filsafat Santo Agustinus. Yogyakarta: Basabasi, 2021