BLOG

&

POST

Sikap Gereja Katolik Terhadap Pewahyuan Pribadi

May 14, 2023

Oleh Fr. Blasius Yohanes Berkmans Sura, OMI

 

 

Perjalanan pengembaraan Gereja sebagai umat Allah merupakan sebuah historis yang panjang, yang membawa bekal-bekal iman. Perlu juga disadari bahwa dalam perjalanan itu hingga saat ini Gereja tidak pernah terlepas dari berbagai persoalan dan problem iman yang lahir dari umat.

Akhir-akhir ini Gereja dihadapkan dengan berbagai persoalan umat, secara khusus dalam persoalan mengenai “Wahyu Pribadi” atau yang bisa kita kenal dengan istilah penampakan atau nubuat atau dalam bahasa setempat sering disebut wangsit. Ada berbagai macam bentuk penampakan atau Wahyu dari Allah yang diperoleh. Ada yang mengakui mendapatkan wahyu dari Allah Tritunggal, ada pula yang mengakui mendapatkan penampakan dari Bunda Maria, para Orang Kudus, dll. Di mana isi dari pewahyuan atau penampakan-penampakan itu sama. Yaitu tentang pesan-pesan akhir zaman.

Oleh karena itu dalam artikel ini penulis ingin mengajak kita semua untuk melihat bersama bagaimana tindakan atau sikap Gereja dalam menanggapi problem-problem pewahyuan ini. Karena yang terjadi pasca pewahyuan atau penampakan atau wangsit, sebagian umat jatuh dalam suatu penghayatan yang ekstrim. Bahkan mengklaim mereka yang tidak percaya sebagai orang yang terkutuk dan tidak layak untuk memperoleh keselamatan.

 

Wahyu.

Dalam pengertiannya, Wahyu memiliki berbagai etimologi yang sebenarnya bermuara pada suatu pengertian yang sama. Pertama, “Wahyu” dari istilah-istilah Kitab Suci. Etimologi kata “Wahyu” dalam kitab suci  berasal dari kata “penglihatan” (kazon) dan “penyingkapan” (apokalypsis) Kata apokalypsis mengacu pada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan sekarang terungkap. Juga kata "memberi tahu" (deloun, sering diterjemahkan "menjelaskan") digunakan. Oleh karena itu di dalam Kitab Suci tidak ada kata khusus atau yang spesifik untuk menjelaskan apa itu “Wahyu”,  namun yang utama adalah perjumpaan antar personal, bukan menyampaikan pesan atau kata-kata.

Kedua, dapat kita lihat dalam dokumen-dokumen Gereja katolik, wahyu memiliki arti sebagai “Tanggapan yang mengundang jawaban iman pribadi atas pernyataan diri Allah dalam sejarah dan yang terpenuhi dalam Yesus Kristus.” (Bdk. DV2; DV6). Konsep atau pengertian dasar dari wahyu ini menjadi tolak ukur atau kunci utama dari berbagai pembahasan mengenai teologi kristiani zaman ini.

Sedangkan menjadi sebuah problem ketika arti kata wahyu ini masuk dalam lingkup atau istilah masyarakat tradisional, di mana masalahnya terletak pada ukuran mana yang harus dipakai untuk melihat apakah wahyu itu dari Allah atau leluhur. Sebab masyarakat tradisional mengartikan wahyu sebagai wangsit atau sesuatu yang tidak selalu berhubungan dengan Allah. Tetapi bisa juga dengan leluhur, dewa-dewi atau hal sejenisnya.

 

Ciri-ciri Wahyu.

Berangkat dari dua definisi Wahyu diatas dapat kita ketahui bahwa Wahyu dalam Gereja Katolik itu memiliki dua ciri atau jenis yaitu Wahyu umum atau publik dan Wahyu Khusus. Wahyu umum atau publik ialah penampakan atau pengungkapan ilahi yang disampaikan oleh Allah kepada seluruh umat manusia. Wahyu umum ini dicatat dalam kitab suci, yang terdiri dari perjanjian lama dan perjanjian Baru yang terpenuhi dalam Yesus Kristus. “Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia, adalah Sabda Bapa yang tunggal, yang sempurna, yang tidak ada taranya. Dalam Dia Allah mengatakan segala-galanya, dan tidak akan ada perkataan lain lagi” (Katekismus Gereja Katolik no. 65). Oleh karena itu, Wahyu publik terbatas pada ajaran Tuhan, khotbah, mukjizat dan tanda-tanda yang dicatat dalam kitab suci dan diturunkan melalui tradisi suci. Tradisi suci dan kitab suci bersama-sama membentuk perbendaharaan iman.

Sedangkan Wahyu Khusus atau Wahyu Pribadi  (Private Revelation) merupakan suatu penampakan atau pengungkapan Ilahi yang diberikan Allah secara khusus kepada seseorang atau kelompok tertentu. “Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan Wahyu Pribadi, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja. Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman”. (Katekismus Gereja Katolik no. 67). Bahkan, Gereja sejak awal mengakui pentingnya untuk kehidupan batin umat beriman dari karunia-karunia khusus yang tidak dijanjikan Roh seperti yang kita temukan dalam wahyu pribadi (Lawler Ikuti, 1984, 2). Maka perlu penegasan kembali bahwa, Wahyu Khusus ini tidak mengubah Wahyu umum yang telah diterima umat. Akan tetapi “Di bawah bimbingan wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja” (Katekismus Gereja Katolik no. 67).

 

Tanggapan Gereja atas Wahyu Pribadi

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa akhir-akhir ini  ini Gereja sedang dihadapkan dengan berbagai macam persoalan umat yang NB mengaku bahwa mereka memperoleh pewahyuan atau penglihatan pribadi. Namun apa problemnya? Problemnya lahir dari sikap atau tindakan penghayatan yang dipakai oleh orang-orang yang notabene mendapatkan pewahyuan tadi yang bisa dikatakan ekstrim.

Gereja katolik secara khusus memang menghargai dan mengakui adanya Pewahyuan Pribadi. Hal ini terungkap dalam KGK no. 67 yang menyatakan:

Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan “wahyu pribadi”, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja. […..]

 

Akan tetapi perlu juga diketahui bahwa wahyu-wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. Maksudnya ialah pewahyuan-pewahyuan pribadi itu bukan untuk menggantikan pemaknaan akan  pewahyuan umum yang terpenuhi dalam diri Yesus kristus. untuk lebih jelasnya kita dapat  mengutip dari DKV II yang mengatakan :

"Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif, tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus" (DV 4).

 

Maka dari itu letak peran pewahyuan pribadi ini lebih kepada penyempurna wahyu Kristus. Agar makin menikatlah iman umat dalam Gereja katolik.

[…..] Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. Bukanlah tugas mereka untuk “menyempurnakan” wahyu Kristus yang definitif atau untuk “melengkapinya”, melainkan untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu.

 

dari semuanya pembahasan diatas maka dapat kita ketahui bersama sikap atau tindakan Gereja dalam menanggapi persoalan ini adalah:

[….] Di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja.Iman Kristen tidak dapat “menerima” wahyu-wahyu yang mau melebihi atau membetulkan wahyu yang sudah dituntaskan dalam Kristus. Hal ini diklaim oleh agama-agama bukan Kristen tertentu dan sering kali juga oleh sekte-sekte baru tertentu yang mendasarkan diri atas “wahyu-wahyu” yang demikian itu. (Katekismus Gereja katolik no 67)

 

Penutup

Esensi dari wahyu pribadi adalah suatu pewahyuan yang pada dasarnya tidak mengikat atau mewajibkan umat untuk mengikutinya. Karena perlu diketahui, ketika  Gereja dihadapkan dengan persoalan pewahyuan. Gereja membutuhkan sebuah pengakuan lebih atau bahkan mengadakan sebuah penelitian yang serius agar dapat mengakui bahwa wahyu-wahyu pribadi itu merupakan ajaran iman.

Sampai saat ini banyak sekali wahyu pribadi yang belum diakui oleh Gereja. Contoh wahyu yang diterima gereja adalah penampakan St. Bernadette Soubirous di Lourdes, stigmata yang diderita oleh Padre Pio, dll. Tetapi ada juga yang tidak dimiliki dan tidak diakui oleh Gereja. Kita semua dapat mengetahui dari diskusi, contoh dan tindakan gereja bahwa gereja memiliki peran yang sangat penting dalam menanggapi masalah iman orang (Stef, n.d.).

Maka dari itu perlu ditekankan kembali  bahwa hakekat dari  Wahyu pribadi adalah sebagai pelengkap dari Wahyu Kristus,  agar umat dapat memahami betul apa yang diimaninya. Sebab sebagai umat beriman seharusnya terikat oleh wahyu umum, seperti yang diberitakan lewat Kitab Suci, Tradisi Suci. Dan Magisterium yang menginterpretasikan wahyu-wahyu umum tersebut. Dan sebagai orang Katolik, kita harus mengikutinya.

 

Daftar Pustaka

art 10. Apa nilai-nilai wahyu pribadi? (n.d.). KOMPENDIUM. Retrieved May 10, 2023, from https://www.vatican.va/archive/compendium_ccc/documents/archive_compendium-ccc_id.pdf

Dokumen Konsili Vatikan II (R. H. SJ, Trans.; 14th ed.). (2019). Obor.

Katekismus on-line - Hidup dalam Terang Sabda. (n.d.). Terang Sabda. Retrieved May 10, 2023, from https://www.terang-sabda.com/p/katekismus-on-line.html

Lawler Ikuti, R. D. (1984). Keyakinan Ilahi, Wahyu Pribadi, Pengabdian Populer. Studi Maria, 35(13), 2. https://ecommons.udayton.edu/marian_studies/vol35/iss1/13

Stef. (n.d.). Wahyu pribadi – katolisitas.org. Katolisitas.org. Retrieved May 10, 2023, from http://katolisitas.org/1980/wahyu-pribadi

 

 

 

 

SEMUA BERITA
chevron-down linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram