BLOG

&

POST

Teologi harapan: Panggilan untuk Merawat Luka Kesendirian

October 2, 2024

Pada tanggal 11-22 aku menjalani live in di Rumah Sakit Panti Rahyu (RSPRu), Kelor, Gunung Kidul. Aku dan tiga teman yang lain hadir di tengah-tengah pasien dan para perawat di fasilitas kesehatan tersebut dalam rangka proyek mata kuliah Teologi Harapan. Berdasarkan pengantar yang diberikan dosen, kami hadir di rumah sakit sebagai saudara yang dapat berbela rasa kepada umat dan juga perawat. Pihak RSPRu membantu kami dengan mengatur penjadwalan kehadiran kami di rumah sakit.

Fr. Thomas dan para frater lainnya berfoto bersama karyawan RSPrU

Selama kurang lebih 10 hari itu, aku mendapatkan perspektif baru melalui proyek ini. Biasanya aku hadir sebagai salah seorang pasien atau sebagai wali dari konfrater yang dirawat di rumah sakit. Pada saat live in ini, aku menjadi bagian dari pelayanan rumah sakit. Aku melihat kepadatan pelayanan para perawat, dokter, dan seluruh bagian rumah sakit untuk membawa kelegaan pada pasien. Hal ini aku amati melalui alat komunikasi pada meja para perawat yang terus berbunyi dari waktu ke waktu. Ada banyak teriakan minta tolong dari pasien.

Paus Fransiskus memberi sapaan pada peringatan hari orang sakit sedunia ke-32. Ia mengatakan bahwa bahwa panggilan sebagai orang beriman katolik adalah untuk merawat luka kesendirian, keterasingan bagi mereka yang terpinggirkan, mereka yang sakit. Panti Rahayu telah menunjukkan aplikasi dari seruan paus Fransiskus tersebut padaku. Perjuangan para perawat dan tenaga medis di fasilitas kesehatan ini melampaui kenyamanan. Mereka bisa menunjukkan budaya kelembutan dan kasih yang dikatakan Paus selanjutnya dalam sambutannya pada hari orang sakit ke-32 tadi. Hal itu bisa aku konfirmasi melalui perjuangan mereka menghadapi pasien keras kepala ataupun berbagai kesulitan lain. Mereka selalu mengutamakan senyum dan sapa yang penuh ramah untuk membangun suasana positif dalam diri pasien.

Perhatian khusus Paus Fransiskus tampaknya sering menjadi suasana yang aku jumpai dalam pengalaman teologi harapan. Aku sering menjumpai wajah yang khawatir. Salah satu pengalaman terjadi ketika aku mengantar salah seorang pasien menuju ruang HD (Hemo Dialisa atau cuci darah). Pasien mengungkapkan bahwa ia sudah dirawat beberapa hari dan tidak menyangka bahwa ia harus mendapatkan perawatan HD. Ada bayangan ketakutan sekaligus harapan agar tiba-tiba tidak perlu menerima ginjal tambahan itu (HD).

Perjumpaan dengan saudara yang demikian menjadi sarana perjumpaan dalam mata kuliah ini. Aku malah belajar bagaimana caranya berharap ketika menjumpai pasien yang telah menerima dirinya untuk rutin terapi HD. Ia memenuhi setiap jadwal dengan penuh pengharapan dalam suasana positif. Aku teringat dengan salah satu Romo yang juga mengalaminya dan menunjukkan sikap taat dan setia. Contoh hidup itu malah memberiku pelajaran akan pengharapan yang disertai dengan kesetiaan dan ketaatan untuk menerima perutusan khusus dari Tuhan. Aku juga belajar bahwa dalam proses kuliah nyata ini, aku dipanggil untuk belajar dari para tenaga medis bahkan para suster yang mengelola rumah sakit untuk merawat luka kesendirian, yang sering tidak diperhatikan.

Panggilan yang sama aku temukan dalam nilai-nilai Oblat. “Hidupilah di dalam cinta kasih, cinta kasih, cinta kasih dan di luar keselamatan jiwa-jiwa”. Seruan bapa pendiri St. Eugenius de Mazenod ini juga mewarnai pesan Paus Fransiskus di awal tadi. Cinta kasih yang menjadi buah para perawat di Panti Rahayu menjadi warna yang perlu aku latih.

Fr. Thomas Brian Wicart, OMI (Skolastik Program Bakaloreat)

SEMUA BERITA
chevron-down linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram